Tuesday, September 18, 2007

Wajah Bangsaku

“te…sate…”, teriakan tukang sate ini biasanya tidak asing terdengar bagi warga Jakarta. Penjual ini memang sering berkeliling menjajakan sate di malam hari. Ia sangat membantu mereka yang malas masak setelah lelah bekerja seharian atau mereka yang sudah bosan dengan masakan rumah :)

Tapi bagaimana rasanya mendengar suara tukang sate di saat sahur? Di saat mereka yang hendak berpuasa berkumpul dengan keluarga di dalam rumah yang hangat, sang tukang sate sibuk menggetarkan pita suaranya sambil menahan dinginnya udara dini hari. Well, Jakarta memang tidak terlalu dingin tentu saja, namun tetap saja bekerja dengan berkeliling mendorong gerobak sate di pagi buta bukanlah sesuatu yang nyaman, bukan?

Teriakan tukang sate pagi ini mengingatkan saya dengan suatu pagi di kota Bandung. Waktu itu saya baru dua minggu kembali ke tanah air dan hendak menenangkan diri akibat shock melihat kondisi Jakarta. Kala itu saya menginap di tempat teman yang berdomisili di sebuah perumahan yang cukup elit di kota tersebut. Setelah shalat subuh, berbagai macam pedagang mulai menawarkan dagangannya masing-masing. Dari pedagang bubur ayam, roti, sayur, susu, bacang (sejenis lontong), koran, dan masih banyak lagi. Cara mereka menawarkan dagangannya pun beragam, ada yang memakai pengeras suara, ada yang memakai musik, ada yang mengandalkan pita suara, dan ada yang mengetuk-ngetuk kayu ataupun mendenting-dentingkan mangkuk. Sehingga nyaris dari jam 5 sampai 8 pagi, kompleks perumahan yang banyak dihuni para pensiunan tersebut menjadi hingar bingar oleh suara para pedagang.

Sampai kapankah saudaraku yang bergerak di sektor informal ini bergeser dari keterpurukannya menuju kualitas hidup yang lebih baik? Sayangnya, tidak dalam waktu dekat ini :( Dengan tingkat pengangguran di Indonesia tahun 2006 sebesar 10.3% (lihat website Bank Dunia), tampaknya sangat sulit bagi mereka yang bergerak di sector informal untuk memperbaiki kualitas hidup mereka. Setiap tahunnya, pemerintah kita tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja baru. Idealnya, setiap pertumbuhan ekonomi satu persen akan menghasilkan penyerapan tenaga kerja baru sebesar 400.000 orang. Namun kenyataannya, pencari kerja baru setiap tahunnya bisa mencapai 2,5 juta orang.

Sektor informal menjadi juru selamat para penganggur berpendidikan rendah yang semakin tidak memiliki pilihan di sector formal. Sementara banyak lagi yang terpaksa rela bekerja paruh waktu (under employment). Sedangkan penganggur dengan pendidikan tinggi relative rendah angkanya walaupun pada kenyataannya hal ini disebabkan mereka bersedia bekerja tidak penuh (kurang dari 35 jam seminggu) ataupun menerima pekerjaan-pekerjaan yang kualifikasinya lebih rendah dari potensi kemampuan mereka (disguised unemployment).

Lantas siapakah yang bisa memberi perubahan, presiden barukah? Mengingat beberapa hari terakhir ini partai-partai politik sibuk memunculkan nama-nama calon presiden untuk Pemilu 2009, saya jadi teringat tulisan M. Fadjroel Rachman di Kompas, 17 Oktober, 2005 dengan judul “Bersama (Siapa Pun) Kita Tetap Menderita”. Di situ dia menekankan siapa pun yang menjadi presiden, kajian 29 tahun pemerintahan Indonesia menunjukkan bahwa 20% of the highest income selalu menikmati 42,07% dari pendapatan nasional. So, who can change the fate of my people?

Iraq Oh Iraq

Mengenang agresi dan invasi terhadap Iraq jadi ingat James Blunt punya lagu:

No Bravery

There are children standing here,
Arms outstretched into the sky,
Tears drying on their face.
He has been here.

Brothers lie in shallow graves.
Fathers lost without a trace.
A nation blind to their disgrace,
Since he's been here.

And I see no bravery,
No bravery in your eyes anymore.
Only sadness.

Houses burnt beyond repair.
The smell of death is in the air.
A woman weeping in despair says,
He has been here.

Tracer lighting up the sky.
It's another families' turn to die.
A child afraid to even cry out says,
He has been here.

And I see no bravery,
No bravery in your eyes anymore.
Only sadness.

There are children standing here,
Arms outstretched into the sky,
But no one asks the question why,
He has been here.

Old men kneel and accept their fate.
Wives and daughters cut and raped.
A generation drenched in hate.
Yes, he has been here.

And I see no bravery,
No bravery in your eyes anymore.
Only sadness.

L O V E